top of page

Catatan Kurator Hilmi Faiq

 

Dwi Tunggal, Memeluk Segitiga Makna

           

Sekonyong-konyong Dwi Putro atau yang akrab dipanggil Pak Wi berdiri, begitu panitia memberi tahu bahwa malam itu disediakan kue untuk dikudap sembari mendengarkan diskusi. Beberapa detik kemudian, Pak Wi menyodorkan dua kue kepada saya sembari manggut-manggut memberi isyarat agar saya mengambilnya. Pak Wi mempunyai kendala wicara dan indera pendengarannya  hanya berfungsi 20 persen. Saya bilang terima kasih. Malam itu, adik Pak Wi, Nawa Tunggal, tengah presentasi tentang karya-karya kolaborasi mereka dalam sebuah event seni akhir Agustus 2022. Sehabis acara, Pak Wi ikut ke depan untuk foto-foto bersama narasumber dan peserta yang jumlahnya hampir seratus orang itu.

           

Dua petikan peristiwa di atas merupakan cermin betapa kondisi Pak Wi sekarang demikian menggembirakan. Dia tak lagi menarik diri sebagaimana kebanyakan pengidap skizofrenia. Wilayah pergaulan Pak Wi makin luas, bukan saja sebatas orang-orang yang dia kenal. Dia tidak canggung bertemu dengan orang-orang baru dan tetap nyaman berada di sekeliling dan dikelilingi mereka. Meskipun Pak Wi belum bisa dilepas begitu saja untuk mandiri pulang dan pergi dari rumah ke acara pameran seni tadi, misalnya. Untuk urusan itu, Pak Wi masih butuh pendampingan yang dalam hal ini dilakukan sepenuh hati oleh Nawa Tunggal.

 

           Kenyamanan itu lahir antara lain karena karya-karya Pak Wi bersama Nawa Tunggal diapresiasi banyak orang. Karya mereka dipajang di pameran-pameran penting dalam negeri sampai Jepang. Terakhir, mereka mendapat ruang khusus untuk pameran di Artjog 2022, salah satu pameran seni yang diperhitungkan di wilayah Asia Tenggara. Ajang-ajang tersebut membuat Pak Wi percaya diri. Ketika dipuji orang bahwa karyanya bagus, Pak Wi selalu menggut-manggut. Nah, ketika ditanya tentang karya orang lain, dia tak segan melengos jika menurutnya tidak menarik. Artinya, Pak Wi punya kepercayaan diri untuk menilai karya orang lain secara subyektif.

​

Jika dirunut, sekitar 22 tahun lalu, Pak Wi berada dalam kondisi “tidak diperhitungkan”, bahkan sampai keluyuran memungut putung rokok. Bagi banyak kalangan, orang-orang seperti Pak Wi ini sudah selesai, tidak punya lagi masa depan. Nawa Tunggal tergerak untuk merawat Pak Wi, menjaganya, memberinya kesibukan menggambar. Coretan dan gambar Pak Wi yang repetitif itu menjadi kanal katarsis dan membuatnya nyaman. Pak Wi mampu menggambar hingga 24 jam tanpa henti karena kenyamanan tersebut.

 

           Dalam coretan dan gambar tersebut, muncul nama-nama tertentu sepeti, “Ning”, “Teteh Bandung”, “Ibu”, dan “Nowo”. Juga gambar-gambar yang mengisyaratkan pernah membuatnya nyaman di masa remaja, yang dominan antara lain adalah wayang. Ketika remaja, Pak Wi senang sekali menonton wayang di Agastya, di Kampung Gedongkiwo, Yogyakarta. 

​

Kenangan dan ingatan tentang masa lalu yang muncul itu kemudian menjadi salah satu gelagat yang dijadikan pondasi kalangan psikiater menyebut Pak Wi mengidap skizofrenia residual (Residual Schizophrenia). Ini salah satu dari lima subtipe skizofrenia.

​

            Bila ditilik lebih jauh, masa lalu Pak Wi yang menggembirakan itu adalah penolong baginya. Dari gambar-gambar yang muncul, seolah ada kesan Pak Wi ingin mengulang masa-masa itu atau mengingat kembali perasaan nyaman dan menggembirakan itu di masa sekarang. Ekspresi karyanya yang cenderung apa adanya dan infantil, bisa dibaca sebagai kepolosan dan kejujuran masa kanak-kanak itu. Ibarat fosfor dan masa remaja adalah cahaya, Pak Wi menyerap cahaya tersebut dan memantulkannya kembali ketika berada dalam kegelapan, dalam dekapan skizofrenia. Pelan-pelan, dunianya yang gelap dalam dekapan skizofrenia itu menjadi terang.

​

            Bisa jadi hidup yang terang itu hanya sesaat. Tetapi ibarat cat fluorescence Pak Wi tertolong karena ada Nawa Tunggal yang selalu siap menjadi sinar ultra violet. Di tengah kegelapan hiduap itu, mereka berdua bersinar terang. Pak Wi selalu nyaman berada di dekat Nawa Tunggal. Nawa memberikan cinta tanpa syarat. Dalam interaksinya dengan Pak Wi, hampir selalu Nawa Tunggal tersenyum kepada Pak Wi. Meskipun tidak terucap, saya meyakini, Pak Wi menangkap ketulusan cinta itu. Pak Wi selalu menurut dengan Nawa Tunggal karena tahu Nawa Tunggal tidak pernah mencelakainya atau mengecewakannya.  Apakah tidak melelahkan bagi Nawa Tunggal terus-menerus mengurus Pak Wi. “Ketika melihat Pak Wi aktif menggambar, saya merasa recharge,” kata Nawa Tunggal.
​
            Bisa diambil tafsir bahwa ketika Nawa Tunggal mengorbankan tenaga, biaya, dan waktunya demi kakaknya tanpa pamrih dan Pak Wi bahagia, pelan-pelan dia merasakan kedamaian dan kebahagiaan juga. Pak Wi tidak pernah mengatakan dia bahagia, tapi Nawa Tunggal bisa merasakan itu. Dan, kebahagiaan itu menular. Menular dari Pak Wi ke Nawa Tunggal. Menular dari mereka berdua kepada kita yang menikmati karya mereka atau berinteraksi dengan mereka. Maka wajar bagi Nawa Tunggal bahwa menemani Pak Wi bukan pekerjaan setahun dua tahun, ini proyek seumur hidup. Terkesan berat untuk dijalani tetapi bukan hal yang mustahil. Berat di awal tapi makin hari makin ringan karena makin banyak yang memberi apresiasi. Makin banyak yang menilai mereka ada.
​
            Dalam perspektif trilogi kenyamanan, Pak Wi telah mencapai kenyamanan diri ketika menggambar, lalu menularkan kenyamanan itu kepada lingkungan keluarga yang dalam hal ini bukan hanya dirasakan Nawa Tunggal, tetapi juga saudara, bibi, paman, dan keponakannya. Tatkala Pak Wi muncul di ruang publik dengan ratusan karyanya, muncul kenyamanan sosial.
 
Sekali lagi, Pak Wi menemukan damai dalam dirinya ketika berkarya dan damai itu membekas hingga dia terdorong terus untuk berkarya. Pada titik ini, Pak Wi tidak mencari bahagia karena kebahagiaan hanya efek belaka dari kedamaian yang telah dia raih. Dengan tanpa mengejar kebahagiaan, Pak Wi terbebas dari beban batin. Beban batin ini sadar atau tidak banyak menghinggapi orang-orang karena merasa perlu mengejar kebahagiaan. Itulah keberuntungan Pak Wi, dia tak perlu mengejar itu.
 
            Beberapa psikiater sempat bertanya kepada Nawa Tunggal, obat apa yang dikonsumsi Pak Wi sehingga tetap bisa mengendalikan diri, tidak agresif, tidak tantrum, dan seolah baik-baik saja. Pak Wi tidak minum obat kimia. Pak Wi mendapat limpahan cinta Nawa Tunggal yang itu perlahan tapi pasti menerangi hidup Pak Wi. Nawa Tunggal adalah antidot bagi Pak Wi.
​
            Nawa Tunggal berangkat dari cinta yang membantunya menerima, lalu mencoba memahami Pak Wi. Dari sana, dia bergerak memenuhi kebutuhan-kebutuhan Pak Wi. Oleh karena Pak Wi dia anggap suka gambar, Nawa Tunggal menyediakan kanvas dan cat. Kini, setelah dua dekade lebih dua tahun, tak kurang dari 10.000 karya tercipta. Bayangkan, orang yang dulu memungut putung rokok dan dianggap tak bermasa depan, kini menghasilkan ribuan karya yang ratusan diantaranya telah dimiliki kolektor seni.
​

              Nawa Tunggal tidak pernah menilai bahwa Pak Wi gila sebagaimana penilaian banyak orang pada fase awal sekitar 22 tahun lalu. Nawa Tunggal melihat Pak Wi sebagai manusia yang perlu dimengerti dan ditemani. Pelan-pelan Nawa Tunggal membantu Pak Wi memaknai hidup sembari dia membenahi makna hidupnya sendiri sebagai adik, sebagai manusia. Dengan caranya yang penuh penerimaan dan kelembutan, Nawa Tunggal mengajari Pak Wi untuk menerima dirinya sebagai diri yang utuh dan dengan demikian, Pak Wi belajar mengendalikan diri, belajar mengorganisasi diri.

​

            Nawa Tunggal menumbuhkan kesadaran dalam dirinya bahwa hidup selalu memiliki arti meskipun seseorang berada dalam kondisi yang menyedihkan dalam pandangan awam. Kesadaran itu dia tularkan kepada Pak Wi dengan itu tadi, mengajaknya terus menggambar. Keliling ke tempat-tempat tertentu yang membuat Pak Wi tergerak untuk berkarya. Paling anyar, Nawa Tunggal mengajak Pak Wi ke Kawasan Candi Borobudur yang kemudian hasilnya dipamerkan di Artjog.
 
              Setiap Pak Wi menggambar dengan penuh antuasisme, Nawa Tunggal merasakan rambatan rasa bahagia. Pada titik itu, pelan-pelan selama puluhan tahun terbentuk kebermanaan hidup. Kebermaknaan itu lalu menular balik ke diri Pak Wi ketika karya mereka dipamerkan dan diapresiasi oleh banyak kalangan mulai seniman, kolektor, sampai peneliti. Makin yakinlah Nawa Tunggal bahwa pada akhirnya, setiap individu, memiliki kebebasan untuk memberikan makna kepada hidupnya. Setiap prilaku dan tindakan seseorang, dengan demikian, berlaku kebebasan pemaknaan ini. Segi tiga makna. Pak Wi dan Nawa Tunggal, yang kemudian menyatu menjadi Dwi Tunggal, berada dalam segi tiga makna tersebut.
           
 
Jakarta, September 2022
bottom of page