DWITUNGGAL
Biografi
Kelahiran Dwi Tunggal
Dwi Putro atau akrab disapa Pak Wi memiliki nama Dwi Putra Mulyono Jati, lahir di Yogyakarta dalam kondisi prematur sekitar tujuh bulan pada 10 oktober 1963. Selama dua bulan kelahirannya dirawat intensif di kotak inkubasi.
​
Pak Wi kecil lalu tumbuh lazimnya seperti kanak-kanak. Ia riang bermain bersama dan bersekolah. Ia gemar sekali bersepeda. Suatu ketika menginjak kelas 3 Sekolah Dasar, muncul gangguan pendengaran dan Pak Wi lebih suka menyendiri. Proses belajarnya terganggu. Ia tidak naik kelas dan mengulang.
​
Ternyata di tahun berikutnya, ia tidak naik kelas lagi. Pihak sekolah menyarankan agar Pak Wi berpindah ke sekolah luar biasa (SLB) khusus tunarungu. Pak Wi lalu ngambek, tidak mau melanjutkan sekolah. Ia juga cemburu terhadap adiknya, Tri Atmojo Putro, yang tetap diperbolehkan sekolah di tempat itu dan naik kelas.
​
Pak Wi akhirnya terpaksa tidak mau bersekolah. Ia meminta dibelikan sepeda baru ayahnya, Sri Mulyono. Dari kesukaan bersepeda itu sempat mengantar Pak Wi ke suatu perlombaan balap sepeda “grass track” khusus anak-anak di lapangan Bibis, Bantul. Pak Wi sempat juara ketika itu.
Masa setahun pun berlalu. Pak Wi berhasil dibujuk untuk menempuh studi di SLB Negeri 1 Bantul, di Jalan Wates, Kadipiro, Yogyakarta. Pak Wi giat bersekolah. Ia pernah ikut kontingen pramuka mewakili sekolah itu untuk Jambore Pramuka di Cibubur, Jakarta.
​
Di luar sekolah, Pak Wi termasuk anak rajin. Ia diserahi tanggung jawab menimba air di sumur untuk mengisi bak mandi yang cukup besar setiap sore. Setelah itu, Pak Wi gemar menonton pergelaran padat wayang kulit di Agastya di Gedongkiwo, tak jauh dari tempat tinggalnya di Dukuh, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta.
​
Jatuh hati
Seperti anak remaja lain, Pak Wi pernah jatuh hati kepada gadis beda kelas semasa studi di SLB. Nama gadis itu, Teteh, dari Bandung. Pak Wi sering membolos dari kelasnya dan mengintip Teteh di kelas tyang beda. Ini cukup mengganggu proses belajar dan mengajar.
​
Mungkin karena mengganggu, apalagi seharusnya sudah lulus studi di tingkat dasar, sekitar tahun 1983 Pak Wi dinyatakan lulus dan tidak boleh bersekolah lagi. Di sinilah lahir manifestasi gangguan mentalnya. Pak wi sering uring-uringan. Sasaran kemarahannya, biasanya adiknya persis, Tri Atmojo Putro, saudara nomor tiga.
​
Pak Wi lahir dari keluarga besar sekali, sebagai anak kedua dari 10 bersaudara. Nawa Tunggal sebagai anak ke sembilan. Suatu ketika, sekitar tahun 1983 itulah Nawa menjumpai kemarahan Pak Wi semalaman. Ia berteriak-teriak keras sepanjang malam. Kata-kata yang diingatnya,
​
“Wani, piye?” atau “Berani, ya?” Ini sebuah tantangan dan ancaman Pak Wi yang ditujukan bagi adiknya, Tri Atmojo Putro. Tri dalam ketakutannya ketika itu harus diamankan dan dikunci di sebuah kamar. Sementara Pak Wi di luar pintu terus meneriakkan kata-kata itu dari petang hingga pagi. Bayangkan. Ini seperti kiamat kecil di rumah.
​
Di keesokan paginya, Nawa yang lahir 28 Juni 1974, itu terbangun dan hendak berangkat ke sekolah. Nawa masih menjumpai kelakuan Pak Wi yang sama, yakni berteriak-teriak dengan kata yang sama. Nawa tercenung pagi itu, lalu berangkat ke sekolah.
​
Sepulang sekolah, Nawa makan siang sendiri di meja makan keluarga yang cukup besar. Maklum, karena keluarga besar maka meja makan bersama harus besar juga. Ketika Nawa makan siang pada waktu itu nasi tinggal sesuap di piring. Ia berjalan ke arah pintu keluar rumah untuk melihat keramaian anak-anak seusianya yang sedang bermain di halaman. Tiba-tiba di pintu berdiri menghadang Pak Wi. Pak Wi mengacungkan jari
​
kelingkingnya kepada Nawa. Ini sebuah isyarat atau tanda hal yang tidak baik. Nawa menyadari, makan sambil berjalan itu tidak baik. Mungkin ini maksud jari kelingking Pak Wi. Sontak Nawa kaget dan tercenung kembali. Ia membayangkan, semalaman hingga pagi Pak Wi berteriak-teriak seperti orang gila. Ternyata siang itu Pak Wi bisa menjadi seorang kakak yang bisa mengingatkan hal baik dan tidak baik.
​
Terlintas di benak Nawa, semalaman Pak Wi sakit. Semestinya, harus dibantu. Muncul tekad di batin Nawa. Ia berniat, kelak ketika dewasa ingin membantu Pak Wi. Inilah janji masa kecil Nawa. Tanpa disadari hal ini menggiring Nawa semasa bekerja sejak sekitar tahun 2000 tergerak mendampingi Pak Wi melukis.
​
Sepeninggal ayah (1996) dan ibu (1997), Pak Wi menjadi kurang diperhatikan keluarga. Bahkan, pada 2001 Nawa pernah menjumpai Pak Wi di jalanan membawa banyak puntung rokok di kantung celananya. Nawa terusik batinnya.
​
Waktu terus berlalu. Ketika itu Nawa menjadi jurnalis dan tinggal di Malang, kemudian berpindah tugas ke Jakarta pada 2004. Ia terus berusaha mendampingi Pak Wi untuk melukis dan melukis. Nawa dalam situasi batin tidak menentu. Ia tidak pernah bercerita tentang situasi dan kondisi Pak Wi kepada siapa pun.
​
Pada tahun 2007, Nawa mendapat motivasi dari seorang seniman, Samuel Indratma, di Yogyakarta untuk menghadirkan karya-karya Pak Wi di ruang publik. Berbagai kegiatan dan pameran dijalani. Pameran-pameran diikuti di Yogyakarta, Jakarta, Bali, Bandung, dan Jepang. Di Jepang, pameran difasilitasi Borderless Art No-Ma Museum, di kota Omi-hachiman, Prefektur Shiga, Jepang. Antara 2018 – 2022 ada empat kali pameran di Jepang dengan fasilitas dari No-Ma.
​
Ada pengalaman berharga dari interaksi dengan No-Ma ini. Pada 2017 Nawa sempat diundang No-Ma untuk datang ke Jepang. Perjalanan bersama antara Dwi Putro dan Nawa Tunggal di dunia seni rupa terus berlanjut. Hingga pada akhirnya di tahun 2022 ini keduanya melebur dalam praktik kerja kolaborasi dengan satu nama : Dwi Tunggal, kependekan dari Dwi Putro dan Nawa Tunggal. (NAW)